Menghapus Tradisi Permusuhan Antarsekolah

oleh -

Oleh: Enjang Tedi, S.Sos, M.Sos, Anggota Komisi V DPRD Jabar Fraksi PAN

GARUTMU.COM – Masa remaja sering disebut sebagai masa storm and stress, di mana pada masa ini mereka sedang menghadapi persoalan pencarian identitas yang rumit. Dengan kompleksitas permasalahan identitas inilah, tak heran apabila remaja banyak yang terjerumus pada pergaulan tanpa batas.

Salah satu bukti berbahaya adalah tawuran antar Sekolah yang banyak memakan korban jiwa, terbaru meninggal dunianya siswa SMK di Kota Bogor akibat pembacokan yang dilakukan siswa lainnya menampakkan kekerasan yang meresahkan masyarakat.

Hal ini seperti yang terkandung dalam ilmu Patologi Sosial merupakan fenomena sosial yang mencerminkan kepribadian remaja yang banyak meluapkan agresivitas, sadisme, dan antisosial. Mereka seolah menjadi sekelompok remaja yang sering melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.

Luap Kepribadian Patologis

Dari fenomena kenakalan remaja itulah, kalau hendak dianalisa dengan pendekatan psikologi sosial yang digawangi Erich Fromm, yang memandang kepribadian manusia bukan hanya luap ”libido seksual”, seperti yang diungkapkan Sigmund Freud. Tetapi, lebih dari itu.

Kepribadian manusia ditentukan oleh situasi kemanusiaan (human condition) yang berlaku sepanjang hidupnya. Human condition dalam perspektif Erich Fromm merupakan kekhususan yang terjadi pada diri manusia dan dialaminya semata-mata dalam taraf manusiawi, dan sebagai karakteristik eksistensi manusia.

Menurut Erich Fromm, manusia berlainan dengan hewan. Sejak lahir manusia dilengkapi seperangkat kemampuan naluriah yang ”siap pakai” untuk bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Namun, secara biologis manusia merupakan makhluk yang lemah. Dengan demikian yang diperlukan untuk tetap survive dalam kehidupannya adalah memanfaatkan kemampuan yang luar biasa dalam dirinya.

Erich Fromm dalam buku berjudul Man for Himself, menyebutkan tiga kemampuan khas insani yang membedakan manusia dengan hewan, yakni: kesadaran diri (self awareness), akal budi (reason), dan daya khayali (imagination). Setiap kemampuan manusiawi tersebut berperan dalam membentuk kepribadian seorang manusia.

BACA:  Mengenang Ki Hadjar Dewantara di Hari Pendidikan Nasional

Pun begitu dengan remaja. Ketika kesadaran diri, akal budi, dan daya khayali tidak dapat digunakan untuk mengembangkan kepribadian yang positif, tentunya akan menyebabkan seorang remaja memegang teguh kepribadian yang tak berkualitas, destruktif, chaosistik, dan perilaku merusak lainnya.

Karena itu, eksistensi remaja sejati, yakni seorang manusia yang mampu sadar diri, berakal budi, dan memiliki imajinasi yang luas seluas samudera di lautan mutlak diperlukan.

Faktor Penyebab

Siswa remaja usia sekolah, melakukan tindakan patologis yang merusak dan destruktif tidak bisa dilepaskan dari dua faktor penyebab, diantaranya:

Pertama, faktor internal; yakni sejumlah faktor yang berasal dari aspek internal dalam diri seperti kondisi psikologis atau jiwa. Bila kondisi jiwa ini tidak terbentuk secara manusiawi, maka ia akan rentan dibentuk oleh faktor eksternal atau dari luar dirinya. Dengan demikian mereka akan lebih mudah menerima tekanan sebagai jiwanya.

Kedua, faktor eksternal; yakni faktor yang berada di luar dirinya sendiri seperti lingkungan, kondisi sosial, dan tekanan hidup. Hal ini dapat menyebabkan seorang remaja, yang rapuh secara psikologis, gampang terbentuk jiwanya sesuai kondisi sekitar. Kasus pembacokan siswa SMK di kota Bogor ialah contoh kongkrit bahwa pembacok terpengaruhi kekerasan yang diberikan lingkungannya, sehingga mereka berani melakukan tindakan yang merenggut nyawa orang lain.

Penaggulangan Preventif

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada tahun 2022 lalu, sepanjang tahun 2021 terdapat 188 desa/kelurahan di seluruh Indonesia yang menjadi arena perkelahian massal antar pelajar atau mahasiswa. Jawa Barat menjadi provinsi dengan lokasi kasus tawuran pelajar terbanyak, yakni terjadi di 37 desa/kelurahan.

BACA:  Reses di Desa Bagendit, Enjang Tedi Dicecar Tiga Komunitas Urang Garut

Permusuhan antarsekolah seolah telah menjadi kebiasaan yang mentradisi. Karena itu diperlukan peran aktif dari stakeholders untuk menanggulangi persoalan ini. Proses mengganti tradisi yang berbeda (tradisi buruk permusuhan sekolah dengan tradisi baik) memanglah sangat sulit dilakukan karena secara psikologis rasa permusuhan akan tetap ada disebabkan persaingan.

Namun kita tidak boleh putus asa dengan upaya yang kita lakukan. Sebetulnya ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permusuhan antar sekolah, khususnya dilakukan secara preventif, diantaranya dengan mengoptimalkan perpustakaan sekolah, mengoptimalkan pendidikan karakter melalui program bela negara dan menjaga lingkungan.

Optimalisasi Perpustakaan

Bila mengacu pada dasar kepribadian manusia menurut Erich Fromm, yakni: kesadaran diri (self awareness), akal budi (reason), dan daya khayali (imagination). Maka, dengan mengoptimalkan perpustakaan sekolah akan menciptakan kepribadian bijaksana yang melihat sekolah lain sebagai kawan bukanlah lawan yang harus disingkirkan.

Betul juga bila dikatakan bahwa buku ialah jendela dunia. Dengan membaca buku, wawasan semakin luas, sehingga meniadakan kosakata permusuhan dari dalam kamus kehidupannya. Jadi, untuk menghilangkan tradisi bermusuhan ialah bikin cerdas dulu siswa sekolahnya, bila sudah demikian, maka permusuhan antar sekolah itu akan menghilang.

Pendidikan Bela Negara

Ada kesadaran yang hilang dalam pribadi pelajar kita hari ini, yaitu kesadaran bela negara dengan cara menjaga keamanan dan ketertiban yang diawali dari diri sendiri. Maka, kesadaran terhadap bela negara ini perlu didorong kembali di setiap sekolah melalui kegiatan kedisiplinan misalnya melibatkan TNI-Polri.

BACA:  Jejak Langkah Buya Hamka di Garut

Kita punya banyak anggota TNI yang sudah terlatih dan teruji kedisiplinannya. Maka, melibatkan anggota TNI dalam memberikan pendidikan kedisiplinan pada jam sekolah tertentu atau menjadi salah satu program ekstra untuk ikhtiar mewujudkan pendidikan karakter pada siswa akan lebih efektif. Setidaknya, ini bisa dilakukan secara mandiri oleh setiap sekolah bekerjasama dengan TNI di lokasi setempat, misalnya melibatkan Babinsa.

Pendidikan Jaga Lingkungan

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) baru baru ini meluncurkan program Polisi RW, yaitu melibatkan personil Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat bersama sama dengan Babinkamtibmas. Polisi RW ini diterjunkan ke simpul simpul warga tingkat RW agar peran penegekan Kamtibmas dapat lebih dekat dengan lingkungan masyarakat.

Polisi RW tersebut dihadirkan untuk menjadi fasilitator dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Baik itu masalah dugaan kriminalitas, gangguan lingkungan masyarakat, permasalahan antar tetangga yang bisa diselesaikan secara musyawarah mufakat antara masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Sejatinya, program Polisi RW ini dapat disinergikan dengan dunia pendidikan karena Polisi RW ini akan bergerak langsung ke lokasi paling dekat dengan masyarakat. Dan sekolah merupakan bagian yang juga dekat dengan masyarakat.

Kolaborasi Tiga Pilar

Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam hal ini Dinas Pendidikan harus segera membuat terobosan kebijakan atau regulasi yang memungkinkan terwujudnya kolaborasi tiga pilar dengan TNI dan Polri dalam sektor pendidikan.

Upaya preventif dimulai dari internal dengan optimalisasi perpustakaan, pendidikan bela negara dan pendidikan jaga lingkungan melalui kolaborasi tiga pilar ini diharapkan dapat mencegah tawuran antar pelajar dan menciptakan tradisi baru yang jauh lebih positif. Wallahua’lam. (*)

Sumber: TribunJabar.id.