GARUTMU.COM — Hari ini, 02 Mei 2023, merupakan Hari Pendidikan Nasional. Hari bersejarah ini erat kaitannya dengan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. Lantas, siapakah Ki Hadjar Dewantara?
Mengutip Wikipedia, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (sejak 1923 menjadi Ki Hadjar Dewantara) adalah bangsawan Jawa, aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, guru bangsa, kolumnis, dan politisi.
Ia merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa yang sangat fenomenal.
Taman Siswa merupakan lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyai dan orang-orang Belanda.
Pada 1959 atas jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dianugerahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional oleh Presiden Soekarno.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional Indonesia. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia.
Namanya diabadikan sebagai salah satu nama sebuah kapal perang Indonesia: KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya juga diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah edisi 1998.
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden Sukarno pada 28 November 1959. Ki Hajar Dewantara juga merupakan peletak dan perintis pendidikan nasional berbasis kebudayaan.
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga bangsawan Kadipaten Pakualaman. Ia merupakan putra dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Paku Alam III.
Ia menamatkan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School. Sekolah ini merupakan sekolah dasar khusus untuk anak-anak yang berasal dari Eropa.
Ia sempat melanjukan pendidikan kedokteran di STOVIA. Namun, ia tidak menamatkannya karena kondisi kesehatan yang buruk.
Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar. Ia pernah bekerja untuk surat kabar “Sediotomo”, “Midden Java”, “De Expres”, “Oetoesan Hindia”, “Kaoem Moeda”, “Tjahaja Timoer”, dan “Poesara”.
Ia tergolong salah seorang penulis yang andal pada masanya. Gaya tulisannya bersifat komunikatif dengan gagasan-gagasan yang antikolonial.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) pada 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya. Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde.
Ini merupakan organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis pada 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi.
Ia kemudian menulis “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi semua untuk satu juga”.
Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913.
Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya.
Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu!
Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.”
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini.
Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri).
Namun, kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai “Tiga Serangkai”. Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Pada 1913 dia mendirikan Indonesisch Pers-bureau, “kantor berita Indonesia”. Ini adalah penggunaan formal pertama dari istilah “Indonesia” yang diciptakan pada 1850 oleh ahli bahasa asal Inggeris George Windsor Earl dan pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya.
Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Soewardi kembali ke Indonesia pada September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang berencana untuk ia dirikan.
Pada 3 Juli 1922, ia akhirnya mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa di Yogyakarta. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. (“di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”).
Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pada 1956, Presiden Soekarno mengangkat Ki Hadjar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan Indonesia yang pertama. Lalu, pada 19 Desember 1956 ia juga mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada.
Ki Hadjar Dewantara juga diditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional atas jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.
Selain itu, tanggal 2 Mei yang merupakan hari kelahirannya, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ketetapan hari tersebut disahkan dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 305 Tahun 1959 bersamaan dengan penetapannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Surat keputusan tersebut diterbitkan tanggal 28 November 1959.
Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Kota Yogyakarta pada 26 April 1959. Lokasi wafatnya di Padepokan Ki Hadjar Dewantara.
Jenazahnya kemudian disimpan di Pendapa Agung Taman Siswa untuk kemudian dimakamkan di Taman Wijaya Brata pada 29 April 1959. Upacara pemakamannya dipimpin oleh Soeharto yang bertindak sebagai inspektur upacara.***
Sumber: Wikipedia