Oleh: SUKRON ABDILAH, Chief in Editor
GARUTMU.COM – Sambal atau sambel bagi urang Sunda adalah teman akrab ketika makan yang menjadikan kegiatan santap-menyantap terasa nikmat memikat.
Rasa pedas yang menyebabkan keringat menetes dari dahi dan sesekali dari bibir terucap “suhah” tidak membuat kapok urang Sunda mengonsumsinya.
Salah satu sambal kesukaan itu adalah sambal “goang” dan bisa dibuat siapa saja tanpa memandang usia. Ketika saya kecil, misalnya, untuk menemani nasi liwet hangat ditemani asin sepat, tumis kangkung dan goreng tempe, selalu menyempatkan diri mengulek “sambel goang”.
Bahan-bahannya sangat merakyat dan tersedia di kebun. Cukup dengan cengek (cabai kecil) ditambah garam, saya sudah bisa menikmati hangatnya tubuh di tengah alam pedesaan yang begitu dingin menggigil.
Di setiap perkampungan, sambal hampir pasti dijadikan penambah selera nafsu makan keluarga.
Begitu juga di rumah makan atau restoran yang menyajikan makanan khas Sunda, terasa tak komplit kalau sambal tidak dihidangkan di meja pelanggan.
Konon, “sambel goang” berasal dari campurbaur antara bahasa Sunda dan Betawi, yakni “sambel” dan “doang”. Ketika diucapkan urang Sunda maka menjadi “sambel goang”.
Dari aneka jenis sambal, hanya “sambel goang” yang mencerminkan kesederhanaan hidup. Memikat hati saya – meskipun ada gangguan di pencernaan – untuk membuatnya ketika kebetulan pulang kampung.
Tak hanya itu, “sambel goang” juga menyimbolkan relasi kosmik yang harmonis antara warga Sunda dengan alam. Dalam bahasa lain, alam beserta manusia Sunda saling membutuhkan.
Sederhananya, saya akan mencoba menjaga ekosistem alam agar tetap memberikan bahan dasar pembuatan sambal tersebut.
Dari kedalaman hati saya (penggila sambal) – karena membuatnya sendiri – tentunya lahir kepedulian lingkungan kecil-kecilan. Memanfaatkan sepetak halaman untuk menanaminya, mengairi, atau merawat tangkal cengek agar tumbuh sehat dan afiyat.
Upaya refleksi dibarengi aktivitas demikian melahirkan kedekatan emosional. Kemudian, lahirlah kontemplasi alami yang menelurkan sebuah falsafah, sikap hidup dan kebudayaan.
Seperti diungkapkan Acep Iwan Saidi, budaya atau “culture” secara semiologis berdekatan dengan kata “nature”.
Ini berarti budaya merupakan hasil dialektika manusia dengan alam (nature), dalam hal ini halaman yang ditumbuhi tangkal cengek.
Begitulah yang terjadi dengan sambal di dalam kehidupan masyarakat Sunda. Relasi saya (manusia), tangkal cengek (alam mikro) beserta alam makro, berkelindan hingga melahirkan kebudayaan: piawai mengulek bahan dasar alam hingga menjadi sambal.
Produksi Bahasa
Tak hanya kepiawaian sederhana tadi. Tedi Muhtadin (2002), seorang pengajar Sastra Unpad menulis artikel tentang keterkaitan “sambel goang” dan produksi bahasa.
Katanya, sambel goang merupakan aktualisasi bahasa dari “resep” tentang “sambel goang”. Resep yang digunakan membuat sambal ini saya pikir adalah cita rasa khas Sunda yang memengaruhi sikap dan falsafah hidupnya.
Sikap dan falsafah yang bermuara pada kesederhanaan dan keharmonisan hidup.
Tidak bisa dinafikan cita rasa dalam hal meracik menu makanan adalah cermin kepribadian seseorang. Ki Sunda tidak hanya piawai meracik resep makanan an sich.
Ia sebegitu pandai melakukan kreasi kebudayaan dari bahan baku alam atau “nature”. Cengek pedas tak hanya menghangatkan tubuh. Garam tak hanya pelengkap rasa semata. Namun juga mencerminkan semangat membara, mandiri, tegas, dan berani.
Pelajaran lain dari lidah urang Sunda adalah bahan baku sambal yang tidak statis. Namun bebas sesuai selera atau dinamis. Seperti halnya sifat kebudayaan yang dinamis dan kreatif.
Sambal akan berubah bentuk dan rasanya ketika dibikin oleh orang yang memiliki selera berbeda-beda. “Sambel goang” bikinan saya, karena memiliki cita rasa berbeda dengan orang lain, tentunya melahirkan “sambel goang” beraliran Sukronian.
Selain rasa pedas, dapat ditambah dengan garam agar terasa asin. Kalau ingin berbeda, boleh ditambah dengan kecap kehitam-hitaman sehingga rasa manis terasa edun di lidah.
Jadi ketika ada generasi muda yang melahirkan wayang ajen, itu adalah potret bahwa kebudayaan sangat beragam dan fleksibel.
Dari satu seni pertunjukan wayang saja, lahir beragam jenis pertunjukan wayang yang lumayan banyak. Sama seperti “sambel goang” dan sambal lainnya yang berasal dari satu bahan yang sama, yakni cengek yang super duper pedas kalau dikonsumsi tanpa disertai apa-apa.
Dari satu bahan dasar itu, lidah Ki Sunda tidak berhenti merasa dan mencipta. Itulah pesan kesundaan yang dapat saya tangkap dari aktivitas mengulek Cengek menjadi sambal yang beragam: salah satunya “sambel goang” nan pedas dan edun.
Katanya.., kalau digerus bersama tungkai cabai bisa mengobati sariawan!
Sekadar tambahan. Berkaitan dengan garam dalam komposisi sambel goang, Ki Sunda memproduksi bahasa sebagai hasil refleksi atas kesukaan urang Sunda terhadap rasa asin.
Produksi bahasa itu adalah “teu uyahan”, sebutan bagi orang yang tak memiliki tata krama, tidak sopan santun, dan cenderung kriminal. Rasa manis juga ternyata memengaruhi urang Sunda untuk memproduksi bahasa yang menyebutkan budi baik seseorang, yakni “amis budi”.
Hal itu mengindikasikan bahwa ketika urang Sunda mencicipi sesuatu dan menyukainya akan melahirkan suatu kerangka nilai yang diyakini sebagai baik dan buruk.
Inilah simbolisasi bahasa yang cerdas dan cergas dari Ki Sunda, hingga bahasa Sunda terlihat fleksibel, dinamis, dan selalu berkembang.
Dari rasa sambal lahir ukuran moralitas Sunda seperti di atas (“teu uyahan” dan “amis budi”). Satu lagi yakni “tobat sambel”. Terma ini mengindikasikan bedegong dan keukeuh-nya warga Sunda. Kapok, jemu, bosan, dan tak mengulangi seolah tidak berlaku bagi urang Sunda penggila sambal.
Kendati mengakibatkan mencret-mencret, panas dalam, apalagi disantap orang yang sedang sariawan; tak menjadikannya hilang dari menu makanan Sunda.
Ketidakjeraan terhadap pedasnya sambal ini mengakibatkan ulama sering menyinggung ketaksungguh-sungguhan bertobat dengan istilah “tobat sambel”.
Ketika kita membangun kebudayaan sejatinya berteriak rame-rame: Urang …nyarambel ah!!!