Oleh: Roni Tabroni, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung
GARUTMU.COM – Mendalami samudera Hamka selalu menarik. Kisah hidup, karya tulis, pemikiran, akhlak, dan keteladanannya banyak dipuji berbagai kalangan. Di dalam maupun luar negeri, Hamka dikagumi lintas golongan.
Semakin membaca Hamka, semakin menemukan hikmah dan pelajaran lintas disiplin. Beliau menulis banyak roman, sejarah, agama, tafsir, tasawuf, kisah orang tua dan dirinya, politik kebangsaan, tentang Muhammadiyah, dan buku-buku pelajaran. Lebih dari 100an buku telah di tulisnya.
Ketika berkunjung ke museum Hamka, konon masih banyak karya tulis yang belum tercetak dalam bentuk buku. Beberapa media telah dirintis dan mencerahkan banyak orang.
Mendatangi museum, rumah ayahnya (Haji Rasul) di tepian danau Maninjau, sekolah yang dirintisnya (MAKM) di Padang Panjang, beberapa Surau, dan tempat- tempat yang memiliki kisah khusus dengan Hamka, semakin merasakan getaraan karisma keulamaan Hamka. Terlebih mendengar beberapa ceritera dari kesaksian orang yang pernah bertemu dengannya, semua menyampaikan narasi serupa.
Beberapa tahun tahu, mendengar ceritera Hamka akan diangkat ke layar lebar. Ada harapan besar, melihata bagaimana kisah sosok Hamka dalam bentuk visual (film), karena selama ini yang banyak tersebar dalam bentuk dekumen tertulis. Yang penting juga, bagaimana penyebaran sosok Hamka dapat lebih menginspirasi banyak orang dengan sajian yang lebih menghibur.
Akhir tahun 2022, konon film Hamka sudah tuntas, tinggal proses tayang. Jelang ramadhan 1444 H, dikabarkan akan ada bedah film Hamka di acara Pengkajian Ramadhan PP Muhammadiyah di Uhamka Jakarta. Saya tentu saja semangat mengikutinya. Betul saja, hadir sutradara Fajar Bustomi, pemeran-pemeran utama, keluarga (anak dan cucuk Hamka), Sekum PP Muhammadiyah dan Rektor Uhamka.
Semakin mendengarkan kisah dibalik pembuatan film, semakin penasaran. Bagi saya tentu saja merasa wajib menonton film Hamka. Ketika 19 April 2023 bener- bener pemutaran pertama di seluruh bioskop secara serentak, di hari itu juga saya memboyong istri dan semua anak saya untuk menonton di malam harinya. Menggeser waktu tarawih di malam terakhir tentu tidak sia-sia, karena mendapatkan pelajaran yang sangat berharga.
Menurut sutradaranya, ini tayangan segment satu dari tiga yang disiapkan. Jadi kita harus menunggu lanjutan ceriteranya beberapa bulan ke depan. Saya mafhum, kenapa ini harus bersambung, sebab kisah Hamka banyak sekali yang menarik sehingga tidak cukup hanya ditayangkan dalam waktu dua jam saja.
Terlebih referensi tentang tokoh yang satu ini sangat berlimpah, sebab banyak catatan yang dibuat Hamka sendiri maupun orang lain, tentang diri, keluarga, dan kehidupannya dari kecil hingga akhir hayatnya.
Di edisi perdana kita disuguhi tayangan yang sangat inspiratif. Sosok Hamka tergambar jelas sebagai sosol ulama kharismatik yang penuh keteladanan. Tentang keikhlasan berdakwah, kegigihan perjuangan, jiwa nasionalisme, bersiasat untuk kepentingan ummat, bersama berjuang untuk kemerdekaan, hingga keteladanan sebagai seorang suami dan ayah.
Hamka memiliki tradisi belajar di atas rata-rata. Kemampuan literasinya mengantarkan dirinya sebagai ulama yang mampu berdakwah melalui mimbar maupun melalui tulisan yang melebihi mubaligh pada zamannya. Kendati pendidikan formalnya tidak memadai, tetapi sebagai pembelajar, Hamka mampu menjadi daya tarik bagi ummat, karena pemahamannya yang mendalam dan wawasannya yang sangat luas.
Kedalaman ilmunya juga tercermin dari kebijaksanaan hidupnya. Di antara yang penting dari pelajarannya yaitu keikhlasan dalam berdakwah dan mudahnya memaafkan orang lain. Tidak mau dibayar saat berdakwah dan tidak menaruh dendam kepada orang membencinya bahkan dolim kepadanya, di antara keistimewaan yang dimiliki Hamka.
Sebagai ulama, jiwa nasionalisme Hamka juga tercermin dari pertemuannya dengan Soekarno, bebeapa tahun sebelum Indonesia merdeka. Pertemuan tiga tokoh di Bengkulu (yang notabene ketiganya memiliki darah Muhammadiyah), mengisyaratkan tekadnya untuk memajukan rakyat Indonesia yang masih dijajah. Melalui caranya masing-masing, perjuangan pun terus dilakukan hingga Indoneaia benar-benar merdeka.
Namun di balik sosok Hamka yang multi talenta, di balik langkah-langkah perjuangan dan inisiatifnya yang brilian, ternyata beliau memiliki sosok istri (Siti Raham) yang tidak kalah pentingnya bagi perjalanan kehidupannya.
Selain mendukung kegiatan dakwah dan tradisi literasi (dengan menyajikan kopi hitam sebagai sumber inspirasi), Siti Raham juga banyak memberikan masukan terkait beberapa langkah dakwah Hamka — termasuk ketika mengusulkan untuk menerima tawaran memimpin media “Pedoman Masyarakat” di Medan. Dari situlah Hamka memulai karir di media yang melambungkan nama “Hamka” itu sendiri — yang awalnya hanya dikenal sebagai Abdul Malik.
Tradisi belajar juga ditunjukkan Hamka ketika dirinya masih perlu mendalami salah satu pelajaran agama dengan mendatangi bapaknya (Haji Rasul) yang merupakan ulama besar.
Sikap itu sebenarnya agak berbeda ketika Hamka masik kecil (mungkin disajian di segmen selanjutnya) yang cenderung menentang metode pembelajaran yang diterapkan ayahnya sendiri. Tetapi Hamka dengan kerendahan hati tetap belajar kendati sudah menyandang predikat ulama.
Keulamaan Hamka juga dikenal dalam diksi Muhammadiyah sebagai sosok yang berkemajuan. Beliau sejak awal menyesalkan ajaran agama yang menjauhkan ummat dari urusan dunia. Ummat Islam menurutnya selain taat beragama, juga harus memahami dan menguasai ilmu dunia. Ummat Islam harus mampu membawa perubahan zaman menjadi lebih baik.
Ketika Siti Raham agak hawatir dengan tanggapan orang karena Hamka sebagai ulama besar sering menulis roman yang cenderung lekat dengan kisah percintaan nan romantis, Hamka justru bersikap sebaliknya.
Menurutnya, dakwah tidak selamanya harus disampaikan di atas mimbar dengan bahasan yang berat-berat, tetapi bisa juga melalui kisah yang menyentuh dan memiliki pelajaran baik. Tulisan Hamka selalu berangkat dari hati, sehingga begitu mudah membawa pembacanya pada suasana haru dan gembira.
Selebihnya, film ini menasihati kaum adam (khususnya saya) untuk menjadi ayah dan suami yang baik. Menjadi teladan di dalam dan di luar rumah, tidak lelah berdakwah, bersikap toleran, selalu belajar tentang banyak hal, menebar kebaikan dan cinta tanah air.
Disajikan dengan dialek Minang yang kental, film ini membawa suasana penonton pada Hamka yang tidak pernah meninggalkan budayanya. Minang atau melayu yang identik dengan Islam, dan minang yang sarat dengan budaya, menghantarkan Hamka menjadi ulama yang begitu dicintai di dalam maupun luar negeri.
Ketika sosok Hamka naik ke layar lebar, beberapa kalangan menengarai bahwa ini bukan film biasa. Hamka adalah marwah ummat Islam Indonesia — sebab Hamka bukan hanya milik Minang atau Muhammadiyah saja. Karenanya, menjadikan film ini menempati posisi tertinggi di tangga perfilman tanah air menjadi sangat penting. Di mata dunia, Hamka juga marwah Indonesia, sebab buku-buku dan pemikirannya banyak dipelajari di beberapa negara lain.
Sebagai masyarakat Indonesia, sebagai ummat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, menonton film Hamka begitu penting. Sehingga mengingatkan apa yang disampaikan sutradara Fajar Bustomi “jangan sampai film Hamka yang banyak pelajaran baik ini kalah laris oleh film Hantu.” Wallahu a’lam