Oleh: Budhiana Kartawijaya, Mantan Pemred HU. Pikiran Rakyat
GARUTMU.COM – Tanpa kerja kerasnya, mungkin penyakit lupus tidak akan mendapat perhatian sebesar seperti sekarang. Meski mengidap lupus plus kurang penglihatan (low vision), Dian Sjarief tidak pernah mau menyerah dengan keadaan.
Didukung oleh keluarganya yang berlatar belakang dokter, dia mendirikan Syamsi Dhuha, sebuah yayasan yang memberikan motivasi hidup yang kuat terhadap para penyandang lupus.
Keluwesan Dian dalam bergaul menjadikan begitu banyak jejaring relawan yang mendukung Syamsi Dhuha. Ribuan penyandan lupus terinspirasi oleh Dian untuk tetap menjalani hidup dengan penuh semangat.
Bahkan Syamsi Dhuha berhasil melakukan penelitian tentang Cecendet dalam upaya mendorong perusahaan farmasi untuk membuat obat murah bagi penyakit seribu wajah ini. Dan, upayanya berhasil sehingga kini diproduksi oleh perusahaan Kimia Farma.
Di Semarang, ada perempuan bernama Priskilla Smith Jully (33), yang akrab dipanggil Priska. Kelahiran Priska sempat tidak diinginkan. Orang tuanya berusaha menggugurkan Priska karena belum siap mempunyai anak.
Karena kuasa Tuhan, toh Priska lahir ke dunia. Namun upaya pengguguran itu menyebabkan Priska terlahir sebagai tunanetra. Untuk menyambung hidupnya, Priska pernah menjalani berbagai pekerjaan, mulai dari kondektur bus, pedagang, penyanyi kafe dan penyiar radio.
Dia bertemu dengan Fandi, seorang pria yang melihat kekuatan hidup dari Priska. Fandi menikahinya dan memberinya dua anak. Yang luar biasa dari perempuan ini adalah: dia tidak pernah dendam kepada orang tuanya, dia tidak pernah menyesal lahir sebagai tunanetra.
Bahkan Priska membangun penampungan bagi anak-anak yang tersisih secara sosial. Nama penampungan itu School of Life, artinya sekolah kehidupan. Ada hampir 100 anak asuh bergantung padanya. Priska mengajak anak-anak putus asa itu untuk tidak dendam kepada situasi yang memperlemah mereka.
Sosok Dian dan Priska
Dian dan Priska adalah sosok manusia yang mampu mengubah musibah menjadi anugerah, memutar kelemahan jadi kekuatan. Sosok Dian dan Priska, serta mungkin ada ribuan lainnya menunjukkan betapa dunia ini penuh ironi.
Sehari-hari mereka dikategorikan sebagai orang sakit, namun pengabdian mereka jauh luar biasa abk orang sehat. Mungkin ini yang dimaksud Marian Zeitlin sebagai “penyimpangan positif” (positive deviance).
Jumlah mereka memang sedikit. Kepada mereka ini pertanyaan sudah sembuh atau belum jadi tidak relevan, karena pada hakekatnya mereka berkemampuan melebihi orang sembuh pada umumnya.
Di sisi lain, ada orang sehat akan tetapi kesehatannya tidak pernah menjadi manfaat bagi alam di sekelilingnya. Dalam terminologi Islam ada istilah sehat wal afiat, artinya sehat dan kesehatannya itu bermanfaat bagi alam sekitarnya.
Jadi ada orang sehat tapi tidak afiat. Lebih buruk lagi, ada orang sehat akan tetapi kesehatannya merusak tatanan. Misalnya banyak orang sehat yang korupsinya luar biasa sehingga hak kesehatan rakyat pada umumnya tidak terbiayai.
Agama mengajarkan manusia untuk memanfaatkan masa sehatnya sebelum datang sakit. Dan jika tertimpa penyakit, cerita Dian dan Priska menjadi inspirasi.
Jangan putus asa karena dalam kondisi terbatas pun, kesempatan berbuat baik masih terbuka lebar karena sebetulnya batas antara sakit dan sehat kadang-kadang abu-abu, tergantung kita memanfaatkannya.
(Artikel ini pernah dimuat di HU. Pikiran Rakyat, Minggu, 8 Juli 2012).