GARUTMU.COM – Pada berbagai daerah di Indonesia, ada berbagai macam gelar yang disematkan kepada orang-orang tertentu yang mempunyai silsilah keluarga bangsawan dari kalangan darah biru. Aneka gelar tersebut memiliki nilai historis dan makna tertentu bagi setiap pemiliknya.
Beberapa gelar bangsawan yang sudah banyak dikenal masyarakat Indonesia di antaranya adalah untuk laki-laki ada gelar raden, tubagus, dan sebagainya. Sementara untuk perempuan misalnya ada gelar ajeng, ayu, ratu, dan sebagainya.
Khusus di Kabupaten Garut, ada gelar Aceng dan Nyimas, yaitu sebuah gelar yang disematkan kepada putra dan putri ajengan atau kiai.
Mengenai hal ini, sesepuh sekaligus pimpinan Pesantren Fauzan, Garut, KH Aceng Aam Umar A’lam, menuturkan bahwa gelar Aceng dan Nyimas lahir sejak 1700-an.
Tepatnya pada zaman Syekh Nuryayi bin Raden Puspadirana. Silsilah Raden Puspadirana masih memiliki nasab dengan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon.
“Syekh Nuryayi adalah murid dari Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Tasikmalaya, murid Syekh Jafar Sidik, Garut dan murid Syekh Maulana Mansur Pandeglang, Banten,” tuturnya.
Beberapa keturunan Syekh Nuryayi yang berpengaruh di antaranya Syekh Hasan Basori, Syekh Muhammad atau Syekh Jabal Qubais (Mekkah), Syekh Muhammad Adzro’i (Bojong Garut), Syekh Muhammad Umar Bashri (Pesantren Fauzan, Garut), Syekh Siroj (Pengarang Kitab Futuh Ilahiyah), dan Syekh Salim.
Pada zaman Syekh Nuryayi, kata Ajengan Aceng Aam, penjajah Belanja sering melakukan praktik jual beli gelar raden kepada masyarakat. Khususnya kepada mereka yang dekat dan mendukung Belanda. Hal ini tentu membuat Syekh Nuryayi merasa khawatir karena jika dibiarkan akan merusak terhadap keturunan asli raden.
Akibat banyaknya orang yang menyandang gelar raden, tidak sedikit masyarakat yang merasa kesulitan untuk membedakan antara raden asli dan raden palsu karangan Belanda itu.
Akhirnya untuk menjaga nasab yang jelas, Syekh Nuryayi membuat gelar khusus bagi keturunannya dengan nama Aceng dan Nyimas sebagai pembeda dengan gelar raden.
Seiring berjalannya waktu, gelar Aceng semakin terbuka. Artinya tidak hanya dikhususkan kepada keturunan Syekh Nuryayi sebab masyarakat Garut biasa menyebut Aceng kepada siapa saja yang bisa ngaji atau dianggap sudah menjadi ajengan. Bahkan orang yang hanya pakai kopiah saja kadang-kadang dianggap Aceng.
Mengenai hal ini, Ajengan Aceng Aam yang masih keturunan dari Syekh Nuryayi sudah memakluminya. Ia menganggap hal itu terjadi karena terbatasnya pengetahuan masyarakat terhadap sejarah nama Aceng.
Ajengan Aceng Aam menuturkan, seorang Aceng harus mampu mengikuti jejak langkah Nabi Muhammad yang selalu menjadi panutan dalam kelemahlembutan dan akhlak, terutama dalam mendidik. Setidaknya seorang Aceng harus mengedepankan akhlakul karimah yang dikuti dengan ilmu yang luhur.
Bagi orang yang asli keturunan Aceng, biasanya mereka menyembunyikan gelar Acengnya agar masyarakat tidak sungkan untuk dekat dan berkomunikasi langsung dengannya.
Selain itu mereka juga merasa belum layak memiliki gelar Aceng karena takut menodai gelar Aceng tersebut dengan kekurangan yang dimiliki.
Ajengan Aceng Aam mencontohkan adiknya sendiri, Ajengan Aceng Abun, yang punya penampilan nyeleneh. Bagi orang yang baru mengenalnya, mungkin tidak akan tahu bahwa Ajengan Abun ini adalah putra kiai yang punya pengaruh besar.
Ajengan Aceng Aam berpesan agar gelar Aceng tidak digunakan secara sembarangan, apalagi jika orang yang bukan keturunan Syekh Nuryayi, hal ini sebagai bentuk ihtiyat (hati-hati) untuk meminimalisir potensi tumbuhnya rasa sombong hati.***